KEBAHAGIAAN SEMENTARA
Suatu malam, seorang laki-laki sedang meminum
minuman beralkohol sambil berjalan melewati gang sepi yang dipenuhi lampu. Laki-laki
itu bernama Alvano Devandra. Nama panggilannya adalah Vano. Dia adalah seorang
siswa SMA yang berprestasi di sekolahnya. Meski begitu, Vano memiliki masa
kecil yang tidak menyenangkan. Saat kecil, Vano mempunyai keluarga yang
bahagia, sederhana, dan berkecukupan. Vano sangat menyayangi keluarganya yang
tediri dari ayah, ibu, dan adik laki-lakinya. Sayangnya, kebahagiaan tersebut
hanya sementara karena ibu dan adik laki-lakinya menjadi korban kecelakaan lalu
lintas saat ibunya memergoki ayahnya berselingkuh. Beruntung ibunya bernama Ava
selamat, namun adik laki-lakinya tidak selamat. Adik laki-lakinya meninggal
setelah dibawa ke rumah sakit. Vano yang malang hanya bisa menangis menerima
semua itu. Perlahan, Vano mulai menyadari sesuatu. Dimana ayahnya saat dia sedang
bersedih?. Dimana ayahnya saat ibu dan adik laki-lakinya terbaring di rumah
sakit?. Di mana ayahnya ketika adik laki-lakinya telah pergi untuk selama-lamanya?.
Vano pernah berpikir jika kehidupan selanjutnya memang ada, dia berharap ada
alam semesta di mana ayah dan ibunya tidak pernah bertemu. Mereka harus
berjalan dengan takdirnya masing-masing tanpa ada ikatan sedikit pun. Meskipun
itu berarti dia tidak akan dilahirkan. Semenjak kejadian itu, Vano menjadi
benci kepada ayahnya. Kejadian itu sungguh membuat dirinya terpukul dan membuat
hari-harinya tidak berjalan dengan baik. Setelah Vano beranjak dewasa, dia
mempunyai keinginan yang berbeda dengan anak seusianya, yaitu menginginkan
kesembuhan ibunya. Meski ibunya selamat dari kecelakaan, namun ibunya mengalami
gangguan jiwa yang menyebabkan Vano menjadi sedih dan stres. Vano tidak pernah
lagi mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Vano berharap Tuhan mempertemukannya
dengan seseorang yang dapat membantu menyembuhkan ibunya.
Saat Vano sudah menghabiskan minumannya,
tiba-tiba dia mendengar suara seseorang berteriak meminta tolong. Vano dengan
cepat mencari asal suara tersebut. Vano mendengar suaranya datang dari dalam
gudang tak jauh dari gang yang dilewatinya. Vano segera mendobrak pintu gudang.
Di dalam gudang, ada seorang gadis yang diikat di kursi dengan air mata
mengalir di pipinya. Selain gadis itu, ada dua orang preman yang berdiri di
kiri dan kanan gadis itu berniat melecehkannya. Untung saja Vano cepat masuk ke
dalam gudang sehingga kedua preman itu tidak sempat melecehkan gadis itu. Melihat
kedatangan Vano, kedua preman itu langsung menghajar Vano. Tak tinggal diam,
Vano pun menghajar mereka.
Di dalam gudang hanya terdengar suara
perkelahian antara Vano dan kedua preman itu. Sedangkan gadis itu hanya bisa
berdoa untuk keselamatannya bersama seorang laki-laki yang sedang berusaha menyelamatkannya.
Meski mengalami luka di bagian pipi dan tangan, Vano mampu mengalahkan kedua
preman itu. Akhirnya kedua preman itu kabur karena takut pada Vano. Tatapan tajam
Vano saat melihat kedua preman itu pergi membuat gadis itu sedikit takut. Vano
memalingkan wajahnya dan berjalan ke arah gadis itu. Dengan hati-hati Vano
membuka tali yang terikat di tangan gadis itu. Gadis itu hanya bisa menangis
sambil menundukkan kepalanya. Setelah melepaskan talinya, gadis itu langsung
memeluk Vano. Vano terkejut melihatnya. Jujur, ini pertama kalinya Vano mendapat
pelukan setelah kejadian yang menimpanya saat masih kecil. Entah mengapa,
pelukan gadis itu membuatnya merasa nyaman. Namun, Vano tak mau membalas
pelukan gadis cantik berponi itu. Peristiwa beberapa tahun yang lalu membuatnya
trauma dengan percintaan, pelecehan, dan kecelakaan. Itulah mengapa Vano sangat
menghormati perempuan, karena jika dia menghormati perempuan itu sama saja dengan
menghormati ibunya. Vano juga tidak ingin menjalin hubungan percintaan dengan
perempuan mana pun, karena menurutnya mencintai dan tinggal bersama ibunya
sudah cukup membuatnya bahagia. Andai saja gadis itu adalah orang yang
dicintainya, Vano pasti akan memeluknya, bahkan dengan sangat erat. Saat gadis
itu memeluk Vano, perlahan dia mengangkat kepalanya. Mereka saling berpandangan.
Lalu, gadis itu tersenyum. Vano tak mengerti maksud senyuman itu. Mungkin
maksudnya adalah untuk menunjukkan rasa terima kasih. Tetapi, Vano merasa
senyuman itu terlihat sama dengan senyuman ibunya. Senyuman itu terlihat begitu
tulus. “Kenapa ini?. Kenapa jantung gw detaknya cepet?. Apa karena senyuman
cewek ini?”, batin Vano. Vano yang merasa aneh dengan dirinya segera melepaskan
pelukan gadis itu. “Kamu dimana rumah?. Engga, maksud aku rumah kamu dimana?. Biar
aku pulang antar kamu. Eh maksud aku biar aku antar kamu pulang”, ucap Vano.
Melihat tingkah Vano, gadis berponi itu langsung tertawa. “Kok ketawa?. Ada
yang lucu?”, kata Vano. Gadis itu berhenti tertawa dan menundukkan kepalanya
karena tingkah Vano berubah hanya dalam beberapa detik. Vano mendengus pelan,
lalu berjalan pergi meninggalkan gadis itu. Gadis itu tidak tinggal diam. Dia
berjalan menyusul Vano. Sadar kalau gadis itu mengikutinya, Vano terus berjalan
dan hanya terdiam. Setelah beberapa menit berjalan, gadis itu tiba-tiba
terjatuh sehingga lutut dan tangannya terluka. Vano membalikkan tubuhnya dan
menatap gadis itu yang sedang berusaha berdiri. Gadis itu memandang ke arah
Vano berharap Vano mau membantunya. Tanpa pikir panjang, Vano menggendong tubuh
gadis itu. “Rumah lo dimana?”, tanya Vano. Gadis itu menunjuk ke arah rumah
yang tak jauh dari dirinya dan Vano.
Sesampainya di depan rumah, Vano
langsung menurunkan gadis itu. Gadis itu perlahan menatap Vano. “Makasih”, ucap
gadis itu sambil tersenyum. Vano merasa jantungnya berdebar kencang. “Apa nih?.
Kok setiap kali cewek ini senyum jantung gw detaknya cepet?”, batin Vano. Gadis
itu berbalik dan berjalan masuk ke rumahnya. Sesampainya di depan pintu, gadis
itu berbalik lagi dan melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Vano. Kemudian,
gadis itu masuk ke dalam rumah. Vano hanya bisa diam menatap gadis itu. Vano
tidak mengerti dengan apa yang dia alami. Vano tak mau ambil pusing memikirkan
hal itu, maka dia segera pergi dari sana. Gadis itu bernama Casya Nazeea. Biasa
dipanggil Casya. Walaupun dia mempunyai senyuman yang begitu indah, namun tidak
demikian halnya dengan hidupnya. Sejak kecil dia tidak pernah menerima kasih
sayang ibunya. Dia tidak tinggal di rumah melainkan di panti asuhan. Hingga
akhirnya ketika dia berusia 12 tahun, dia harus pindah ke rumah ibunya untuk
membesarkan anak hasil perselingkuhan ibunya yang bernama Celsi. Sedangkan
ayahnya telah menceraikan ibunya setelah mengetahui ibunya berselingkuh. Tetapi,
dia tidak membenci ibunya. Malah dia terus berdoa kepada Tuhan agar ibunya bisa
diberikan keselamatan dan kebahagiaan. Dia merasa dia hanyalah anak kecil yang
berpura-pura dewasa. Terlalu sering mendapat kata-kata kasar dari ibunya tidak
menjadikannya kuat. Dia juga merasa bahwa dia hanyalah pribadi yang penakut dan
penyedih. Dia selalu berusaha menerima keadaan meski ingin menangis. Ketika ada
masalah, dia selalu memendamnya sendiri. Meskipun dia tidak bisa menyelesaikan
masalahnya sendiri. Dia merasa terlalu lemah jika bersanding dengan orang lain.
Dia berharap bisa bertemu dengan seseorang yang bisa mencintainya dan
membuatnya bahagia.
Seiring berjalannya waktu, Vano dan
Casya sering bertemu. Bukan tanpa alasan, sebab sekolah Vano letaknya tidak jauh
dari rumah Casya. Jika Vano berangkat ke sekolah, dia selalu melewati rumah
Casya. Saat mereka bertemu, Casya selalu menyapa Vano sambil tersenyum dengan
senyuman khasnya. Vano yang awalnya merasa biasa saja perlahan menginginkan
senyuman itu bisa membuatnya semangat menjalani hari. Dari situlah muncul
benih-benih cinta di antara mereka. Apalagi saat Vano mempertemukan Casya
dengan ibunya yang membuatnya terharu sekaligus bahagia. Doa Vano dikabulkan
Tuhan karena ternyata Casya lah yang bisa membantu menyembuhkan ibunya. Vano merasa
itu adalah keajaiban dari Tuhan untuknya. Tanpa sadar, Casya adalah obat atas
luka-luka bagi seorang Alvano Devandra. Sejak saat itu, Vano benar-benar jatuh
cinta pada Casya. Vano jatuh cinta pada Casya setiap hari. Bahkan setiap jam,
setiap menit, setiap detik, dan setiap saat. Semakin Vano mengenal Casya,
semakin besar keinginan Vano untuk selalu bersama Casya. Keinginan yang semula
ingin sang ibu sembuh kini tergantikan oleh keinginan yang tidak akan pernah
dia lupakan, yakni hidup bahagia selamanya bersama orang yang dicintainya,
ialah Casya Nazeea. “Aku pengen kita selalu bersama, hari ini, besok, selamanya”,
harap Vano. Itulah harapan tulus Vano yang tidak akan pernah bisa dilupakan.
Liburan sekolah telah tiba. Vano
memutuskan untuk menghabiskan liburannya bersama Casya. Mereka jalan-jalan
keliling kota, pergi ke pasar malam, makan di restoran, belanja di mall,
bermain game. Tak lupa mereka mengunjungi panti asuhan tempat Casya tinggal
semasa kecil. Singkat cerita, malam harinya Vano dan Casya sedang berjalan bersama.
Mereka tertawa puas. Vano memandangi wajah Casya yang sedang tertawa. Dia
sangat menyukainya. Apalagi saat Casya tersenyum. Dia sangat menyukai
kebersamaan ini. “Eh iya Van, aku mau ngomong sesuatu”, ucap Casya. “Mau
ngomong apa, hm?”, tanya Fano. “Vano, aku beruntung banget ketemu orang sebaik
kamu. Makasih ya buat semuanya. Kamu udah mau nerima semua kekurangan aku.
Makasih kamu udah dengerin semua keluh kesah aku. Jangan pernah pergi dari aku
yah?. Pokoknya kamu harus selalu sama aku”, ungkap Casya. “Hahaha. Iya
cantikku. Aku ga akan pernah pergi dari kamu”, ucap Vano. Mereka pun berpelukan
dalam kesunyian malam. Casya beruntung memiliki Vano yang sangat mencintainya
dan selalu membuatnya bahagia. Usai berpelukan, Casya berniat menyebrang jalan.
Vano mengikuti Casya dari belakang. Saat sedang menyebrang jalan, dari kejauhan
sebuah mobil melaju kencang sehingga menabrak Casya. Tubuh Casya terlempar
beberapa meter dengan darah yang keluar dari tubuhnya. Vano yang menyaksikan
hal itu sangat terkejut. Dia segera menghampiri Casya. “Casya…sayang…bangun.
Cya, aku mohon bangun. Kenapa kamu bisa kayak gini”, gumam Vano sambil memeluk
tubuh Casya yang berlumuran darah. “Vano…vano…sakit…”, panggil Casya. Napas
Casya mulai menipis, lalu kedua matanya terpejam dengan sempurna. Seketika
tangis Vano pecah. Vano benci, sangat benci hal itu terjadi kepadanya. “Ya
Tuhan, apa lagi ini?”, gumam Vano sambil menatap ke langit.
Ava, ibu Vano dan adik Casya berlari
cepat di lorong rumah sakit. Wajahnya terlihat begitu panik. Sesampainya di
depan ruang IGD, ada Vano yang tengah duduk dengan tangan mencengkram rambut.
Vano langsung berdiri ketika menyadari kehadiran ibunya. “Gimana kondisi
Casya?”, tanya Ava. “Masih ditangani sama dokter, mah”, jawab Vano. “Tante, kak
Aca gapapa kan?”, tanya Celsi sambil menangis. “Iya sayang, kakak kamu gapapa
kok. Kita duduk dulu ya”, jawab Ava menenangkan. Ava mengelus bahu Celsi. Lalu,
duduk di samping kursi yang tadi diduduki Vano. Sedangkan Vano berjalan
mondar-mandir di depan pintu ruang IGD. Perasaan cemas menghantuinya. Dia takut
jika ada hal buruk terjadi kepada Casya. Tak lama kemudian, Vano duduk di
samping Ava. “Kamu ga boleh pergi, Cya. Kalo kamu pergi, aku-“, gumam Vano.
“Casya nggak bakalan kenapa-kenapa. Mama yakin itu. Jangan mikir yang
aneh-aneh”, ucap Ava. “Vano takut mah. Vano takut Casya bakal sama kayak
Arzan”, ucap Vano. Arzan adalah adik laki-laki Vano yang telah meninggal karena
kecelekaan lalu lintas. Seorang wanita berlari mendekat ke arah Vano dan Ava.
Wanita itu tampak begitu khawatir. “Di mana anak saya?. Di mana?”, tanya wanita
itu. Wanita itu adalah ibu Casya. “Mama, kakak Aca ma…”, ucap Celsi sambil
menangis. Wanita itu berjongkok dan langsung memeluk Celsi. “Maafin mama. Mama
udah jahat sama kamu dan kak Aca”, ucap wanita itu sambil menangis. Pintu ruang
IGD terbuka. “Keluarga pasien Casya Nazeea?. Apa ada keluarga pasien di sini?.
Dokter ingin bicara”.
Vano menatap Casya yang tengah
memejamkan mata. Wajah Casya terlihat pucat dengan nasal oksigen terpasang di
hidungnya. Senyum yang biasanya terukir indah di bibirnya itu seolah direnggut
oleh dunia. Wanita itu mengusap kepala anaknya sambil mengeluarkan tetesan air
mata yang keluar dari kedua matanya. Perlahan Casya membuka matanya. “Mama?.
Mama ke sini?”, tanya Casya. Ada sorot bahagia dalam mata indah Casya yang
terlihat sayu. “Iya sayang”, jawab wanita itu. Pandangan mata Casya menatap
secara bergantian ke arah Ava, Vano, dan Celsi. “Kak Aca…aku sedih kak”, ringis
Celsi. “Shutt, jangan nangis ya. Bukannya Celsi anak yang kuat kan?”, lirih
Casya sambil mengelus kepala Celsi. “Casya…maafin mama. Mama bener-bener
menyesal. Mama merasa gagal menjadi seorang ibu bagi kamu dan Celsi”, ucap
wanita itu. “Ma…aku udah maafin mama kok. Maafin Aca juga karena udah nyusahin
mama”, balas Casya. Casya memandang ke arah Celsi. “Celsi, kamu di sini
baik-baik ya. Dengerin kata mama. Jangan nakal”, ucap Casya. Celsi mengangguk
sambil menangis. Lalu, memandang ke arah tante Ava. “Tante, aku titip Vano ya”,
lirih Casya. Ava hanya bisa menangis. Casya memandang ke arah Vano. “Vano, aku
izin pamit ya. Walaupun kita udah gabisa sama-sama lagi, aku bakal selalu
merhatiin kamu dari atas. Maaf, aku harus pergi sekarang. Tolong jaga Celsi.
Perlakukan dia sama seperti kamu perlakukan Arzan. Terima kasih untuk semuanya.
Terima kasih untuk cinta dan kebahaiaan yang kamu kasih. Terima kasih karena
sudah menjadi alasanku untuk tersenyum. Jaga diri kamu baik-baik. Jagain tante
Ava. Aku cinta kamu. Selamat tinggal, Alvano Devandra”, pamit Casya. Tangis
Vano semakin pecah saat mendengar kalimat itu. “Tolong hidup lebih lama, cya”,
batin Vano. Dokter meminta mereka semua untuk keluar dari ruangan karena Casya
terus mengalami penurunan kesadaran. Casya sempat dipindahkan ke ruang UGD,
lalu dipindahkan ke ruang ICU.
Malam itu, langit sangat indah dengan
hiasan gemerlap bintang dan bulan yang tengah bersinar. Udara malam itu pun
sangat sejuk. Memang, malam itu sangat terang. Namun tidak bagi seorang Alvano
Devandra. Dia merasa malam itu adalah malam yang gelap tanpa bulan dan bintang.
Malam yang penuh tangisan. Dia tengah menangisi seseorang yang sangat dia
cintai. Seseorang itu adalah Casya. Manusia yang dianggap Vano baik setelah
ibunya. Casya telah berpulang ke pelukan Tuhan. Harapan Vano telah hancur. Rumah
yang menjadi alasan Vano untuk menetap telah hilang. Vano tak terima dengan
kenyataan itu. Kenapa harus terjadi kepada dirinya?. Kenapa takdirnya harus
seperti itu?. Sungguh, saat itu Vano benar-benar hancur. Baru saja dia telah
menemukan kebahagiaan terbesarnya. Tapi dunia tidak mengizinkan. “Begitu banyak
warna yang ada di dalam lukisan kita. Namun, karya itu tidak abadi. Semua
polesan warna di dalamnya telah hilang dan tak akan pernah kembali sampai kapan
pun. Terima kasih telah mencintaiku. Terima kasih telah menyembuhkan luka-luka
ku. Beristirahatlah dengan tenang. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, Casya
Nazeea”, batin Vano. Akhirnya selalu ada batas untuk setiap perjalanan. Selalu
ada kata selesai untuk sesuatu yang dimulai. Ceritanya singkat namun melekat,
bukan takdir tapi hanya sekedar hadir. Ini bukan komitmen, namun ini hanya
momen.